Satu Atap - Misi

Kami berada di suatu rumah yang sama, berteduh di bawah atap yang sama, terpisah oleh tembok yang sama. Namun kurasa perasaan dan anggapan kami satu sama lainnya mungkin tidaklah sama. Anggapanku tentangnya dan anggapannya tentangku. Begitu pula dngan perasaan di hati kami, apakah dia benar-benar membenciku? Apakah hatinya telah memiliki? Pertanyaan itu sesekali muncul dalam benakku saat ini, saat aku masih mendengar lantunan gitarnya yang mematahkan hati.

Jika memang benar lantunan itu merupakan ungkapan hatinya sekarang, mengapa aku tidak mencoba untuk ikut menikmatinya? Merasakan harmoni yang senada dengan ritme hatiku saat ini.

Hei, bukankah ini bearti kami sedang merasakan hal yang sama? Namun mengapa hal ini begitu memilukan? Apakah karena kedekatamu dengannya? Ataukah karena sikapmu yang acuh tak acuh terhadap keberadaanku, perasaan ini?

Ini bukanlah pertama atau keduakalinya aku tak diacuhkan oleh seseoang yang sedang kukagumi. Mungkin inilah rasanya, suatu konsekuensi, jika seseorang mengetahui isi hati kita. Kali ini terasa begitu menyakitkan karena semuanya berjalan baik sebelum dia mengetahuinya. Pahit.

***

Hingga pukul 10 malam, dia terus memetik gitarnya, melantunkan lagu demi lagu yang tak pernah kudengar sebelumnya, inikah yang benar-benar ia rasakan?

***

Setelah lebih dari sekian jam memainkan dawainya, aku tak lagi mendengar suara seraknya. Suara lembut namun dapat jelas kudengar meski dengan keterbatasan fisikku yang sekian lama semakin menjadi. Kurasa Tuhan mengijinkanku sesekali mendengarkan suaranya sebagai obat rinduku akan rumah atau obat rasa sunyiku.

Aku, jujur saja, sebenarnya aku suka menyanyi. Mendengarkan lagu-lagu luar ataupun dalam negeri dari berbagai genre. Meski aku tak mengeal seluruh artist dari lagu koleksiku, namun aku begitu menyukai mereka. Pernah aku berangan-angan menjadi seorang penyanyi, anggap saja, utaite. Namun biar bagaimanapun, sampai sekarang aku belum dapat meraih anganku itu. Penyakit tenggorokkanku rentang kambuh, apalagi jika aku bernyanyi. Suaraku yang fals terkadag membuat adikku memaksaku untuk berhenti bernyanyi. Yang lebih parah, aku tuli akan harmoni. Penghayatanku rendah. Meski kurasa aku telah meghayatinya secara maksimal, hasil yang kudapat di luar dugaan. Mengecewakan.

Ya, aku sudah tak terlalu memikirkan tentang keinginanku menjadi seorang utaite. Sekarang aku berfokus pada hobiku dalam menggambar. Membuatkan berbagai ilustrasi dari berbagai lagu, bagiku itu sama asiknya dengan bernyanyi, mengungkapkan segala rasa di hati dengan susunan nada yang sedemikian rupa hingga membentuk suatu harmoni. Indah.

Tok. . . Tok. . .

Pintu diketuk dua kali. Seketika imajinasiku buyar. Aku segera beranjak membukakan pintu, harap-harap cemas jikalau orrang yang mungkin saja sedang berusaha menghindariku berdiri diujung pintu sambil memasang raut menakutkan.

Aku menghirup napas lega saat menyadari sosok ang berdiri di depanku. Senyum kam saling merekah.

“Hoi! Bagaimana kabarmu? Cemberut aja, nih!,”  sapanya sambil mengacak-acak rambutku yang sedang kubiarkan terurai. Dia melangkah masuk.

“Syukur, enggak buruk-buruk amat...”.

“Bagus, dong, kalau begitu,” ia duduk di kasur busaku sambil memainkan remote TV. “Gimana ‘perjalanan kasih’mu itu? Masih sesuai rencana, nggak?”

Aku duduk di sebelahnya sambil memainkan ponsel yang sedari tadi kubawa untuk merekam suara dan dentunan lagu tetangga sebelahku. Sambil mencoba mengingat-ingat kejadian akhir-akhir ini aku mulai bercerita sedikit tentang kerenggangan hubungan kami.

“Lho, kok, bisa sih dia menarik kesimpulan begitu cepatnya tentang perasaanmu? Bukannya kalian baru  saling dekat, ya?”. Aku hanya tersenyum tipis, lalu mengembalikan pertanyaan itu pada pria jakung yang sedang memilih chanel TV di sebelahku, “menurutmu?”

“Hmmm... sepertinya dia tidak menyimpulkannya begitu saja dari perilaku yang kau tunjukkan...”

“Ya, kurasa... Apakah dia memiliki indra keenam atau semacamnya, ya? Padahal aku belum pernah menampakkan muka galauku di hadapannya...”

“Hahaha... Mana mungkin anak sepertinya memiliki hal semacam itu? Tapi, ya, aku setuju denganmu! Lagipula, kau ‘kan, mantan anak teater. Terbaik, pula!”

“Aaa... Terbaik apanya? Lagipula itu ‘kan dulu... Tapi, menurutmu, aku berhasil ‘kan dalam misi menyembunyikan perasaan ini darinya?”

“Ya... kalau dari pengelihatanku, acting-mu benar-benar bagus!”

“A-a... terimakasih... tapi... perasaanku ini bukan hanya sekedar bagian dari dramaku. Ya, aku memang berusaha untuk menyembunyikan segalanya, namun aku mulai sadar hal itu datag secara alami, setiap kali aku dekat dengannya, bergurau bersama, aku merasa sangat senang dan bersyukur. Rasa canggungku dan dag dig dug di hatiku seakan sirnah, entah mengapa...”

Dia tertawa pelan lalu bertanya padaku, “Saat di panggung itu juga?”

“Maksudmu?”

“Kau tahu ‘kan maksudku,” katanya sambil memasang wajah serius. Lebih tepatnya ‘sok serius’. Lalu dia kembali bermain dengan remote-nya.

“Hmm... Ya. Bisa dibilang aku selalu berusaha untuk menghayati setiap peran yang kumainkan, tak jarang aku melibatkan perasaan atau masalah yang sedang kuhadapi saat itu. Dan kurasa hal itu begitu menyenangkan. Kau dapat menjadi siapapu tanpa harus menjadi orang lain”

Aku meraih kain sarung yang biasa kugunakan sebagai selimut, menyelubungkannya pada sebagian tubuhku. Sosok berambut ikal coklat di sebelahku tak henti-hentinya memilah channel yang tersedia. Dengan mata bundar coklatnya dia menatap layar TV 14 inch tersebut dengan serius. Aku hanya diam dan mengamatinya sambil menaikkan selimut.

“Hai, kau tahu acara yang cocok untuk malam ini?”

Tangannya yang hanya terbalut kulit dan daging tipis menghempaskan alat pengendali yang puas ia mainkan tepat di sampingku. Aku meraihnya dan mencoba memilih acara yang pas.

“Jujur saja aku tidak tahu betul dengan acara yang disiarkan di televisi, aku jarang menontonnya”

“Haha, jangankan kau yang memungkinkan untuk melihatnya setiap waktu, aku saja tidak memiliki alat berantena ini di kamarku!”

Aku berhenti menekan tombol remote saat menemukan acara yang sesuai.

“Bagaimana jika malam ini kita menonton film? Kau sudah bosan dengan berita, bukan?,” aku meletakkan kembali alat yang baru saja kugenggam di samping kakiku. Saat itu juga aku merebahkan tubuhku pada kasur usaku yang hanya berukuran 70 cm x 160 cm –ku. Aku tidak bisa leluasa, hanya menenangkan tubuhku yanng lelah.

“Tahu saja, kau! Jangan tertidur, ya! Ada yang mau kubicarakan.”

Aku hanya mengangguk pelan. Aku mengubah posisi tidurku sehingga kepalaku berada di kiri kaki teman yang sudah mulai kuanggap sebagai saudaraku sendiri. Dengan posisi ini aku bisa ikut menyaksikan film yang ditayangkan. Kudekatkan speaker ponsel ke telingaku, lalu menekan tombol play pada rekaman yang kudapat.

“Apa yang inigin kau bicarakan?”

“Bukan apa-apa, ini tentang perasaan kita, misi kedua yang akan kita jalankan...”

Misi . . .
***

Saat jarak yang ada di antara kita semakin dekat, saat itulah aku merasa hari esok semakin jauh jarak di antara kita  . . .


***

Comments

Popular posts from this blog

1st Day